Selasa, 09 September 2014

Konsep UMMAH



BAB I
PENDAHULUAN


1.1.        Latar Belakang
Ummah (bahasa Arab: أمة, bahasa Indonesia: umat) adalah sebuah kata dan frasa dari bahasa Arab yang berarti: "masyarakat" atau "bangsa". Kata tersebut berasal dari kata amma-yaummu, yang dapat berarti: "menuju", "menumpu", atau "meneladani". Dari akar kata yang sama, terbentuk pula kata: um yang berarti "ibu", dan imam yang berarti "pemimpin".
Saat ini, Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional utama yang anggotanya terdiri dari negara-negara dengan penduduk yang beragama Islam.
Dalam konteks agama Islam, kata ummah bermakna seluruh persebaran umat Islam atau "komunitas dari orang-orang yang beriman" (ummatul mu'minin), dan dengan demikian bermakna seluruh Dunia Islam. Ungkapan "kesatuan umat" (ummatul wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada seluruh kesatuan Dunia Islam. Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya': 92).
Dalam perkembangan peradaban dunia kita banyak menemukan berbagai umat manusia yang menonjol setiap zamannya. Sebut saja mulai dari zaman nabi Adam AS, Nabi Luth AS dengan kaum Shodomnya, Nabi Musa hingga Isa AS dengan Bani Israilnya. Kemudian raja-raja seperti Fir’aun dengan rakyatnya yang dikerja paksa hingga peradaban konfusius yang mengenal kasta-kasta.
Begitu juga dalam era modern seperti sekarang terdapat berbagai macam model tatanan masyarakat yang ada. Dua yang terbesar misalnya, Kapitalis dan Sosialis. Dua ideologi ini sangatlah bertolak belakang dalam menyusun tatanan masyarakat. Kapitalis menjadikan kaum pemilik modal sebagai lakon utama dan menyisihkan komponen masyarakat lainnya, sedangkan sosialis menyamaratakan seluruhnya walaupun tetap membedakan kaum borjuis dan feodal.
Begitu banyak konsep tatanan masyarakat yang dikenalkan di belahan dunia, setiap zaman, setiap habis peperangan. Namun nyatanya tidak banyak menghasilkan konsep ummat manusia yang ideal. Ideal disini berarti dapat menciptakan keadilan antara kekuatan pemerintah dengan masyarakat sipil, tidak memiliki kesenjangan sosial yang tinggi antara elemen masyarakat, toleransi dan kebersamaan terwujud, kesamaan di mata hukum, dan lain sebagainya.
Dalam perjalanannya konsep ummat atau masyarakat yang terbangun dalam sebuah peradaban tak terlepas dari bagaimana bentuk pemerintahan negaranya, setidaknya bagaimana  pemimpin ummat tersebut melakukan sebuah kontrak sosial didalamnya.
Sebenarnya kita telah menemukan konsep ummat yang selama ini dianggap tepat oleh kebanyakan ilmuwan, termasuk didalamnya hubungan ummat dengan  negara. Untuk itu dikenal konsep ummat yang dibangun oleh Rasulullah SAW di Negara Madinah  ketika itu dalam bingkai kontrak sosial Piagam Madinah.
Namun itu hanyalah bagian dari sejarah fenomenal umat Islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Dengan runtuhnya khilafah islamiyah praktis tatanan pemerintahan maupun sosial masyarakat telah hilang. Yang timbul kemudian adalah berbagai ideologi serta model pemerintahan dan sosial masyarakat “coba-coba”. Sehingga sampai saat ini berbagai pemikir dan ilmuwan mencoba menemukan konsep ummat yang pas, terlebih seperti Indonesia yang memiliki masyarakat plural.

1.2.        Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diambil beberapa permasalahan utama. Beberapa permasalahan tersebut adalah :
1.      Bagaimanakah konsep-konsep kolektivitas manusia tersebut dan pandangan islam terhadap kolektivitas manusia?
2.      Bagaimanakah hubungan Ummah / Umat dengan universalitas nilai-nilai kemanusiaan?


BAB II
PEMBAHASAN

Ketika kita membahas ataupun membicarakan hal mengenai masyarakat islami maka pikiran kita akan tertuju kepada kehidupan masyarakat pada zaman Rasulullah SAW, dan jika dikaitkan dengan bingkai kenegaraan maka akan menjadi negara Madinah yang didasari oleh piagam madinah.
Sebelum lebih lanjut menuju pembahasan masyarakat islami maka terlebih dahulu kita akan menilik masyarakat secara tersendiri. Menurut Selo Soemardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Secara etimologis (bahasa) “masyarakat” berarti sekumpulan orang, dan “islami” berarti memiliki sifat atau karakteristik keislaman, sehingga masyarakat islami adalah sekumpulan orang yang memiliki sifat atau karakteristik keislaman. Maka masyarakat islami bisa didefinisikan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai islam dalam kehidupan. Dalam konsep yang lebih umum, kita mengenal masyarakat madani atau civil society.
Karakteristik Masyarakat Islam
Said Hawwa menyatakan bahwasanya pribadi muslim yang memiliki keistimewaan akan menghasilkan masyarakat muslim yang memiliki keistimewaan khas pula sebagai konsekuensi logis darinya. Karakteristik ini tentunya menjadikan masyarakat islam berbeda dengan masyarakat lainnya. Beliau memaparkan 4 persoalan yang membedakan karakteristik antara masyarakat islam dan masyarakat kafir.
1.        Seni dan estetika
Estetika dan seni menjadi tolak ukur kemajuan bagi masyarakat kafir dan harus diutamakan sebelum akhlak. Maka akhlak yang bertentangan dengan seni dan estetika bisa dibuang jauh-jauh dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Seorang biduan perempuan akan dianggap hebat jika menampilkan keelokan wajah dan kemolekan tubuhnya. Patung atau lukisan perempuan tanpa busana dinilai memiliki nilai seni yang tinggi. Kemudian sastra seperti novel atau puisi mereka yang mengarahkan manusia kepada pergaulan bebas, membangkitkan gharizah, mendorong kepada perzinahan serta membangkitkan intuisi manusia untuk melakukan tindakan kriminal.
Berbeda dengan masyarakat islam dimana seni dan estetika merupakan hal yang sifatnya sebagai pelengkap saja, tidak menjadi hal pokok atau sesuatu yang dikedepankan dalam setiap perkara. Akhlak menjadi utama yang kemudian dihiasi oleh seni dan estetika, sehingga masyarakat islam akan lebih mampu mengarahkan potensinya ke arah yang lebih positif, perbaikan dan pemberdayaan ummat.
2.        Nasionalisme, patriotisme, rasialisme dan humanisme
Masyarakat non-muslim menjadikan ikatan tanah air, bangsa, suku, ras dan keturunan sebagai ikatan antar individu. Mereka rela mengorbakan apapun atas ikatan ini. Mereka lebih mengedepankan yang sebangsa bahkan tak jarang merendahkan bangsa lainnya, memberikan loyalitas kepada ikatan itu semata serta bekerjasama dan berperang atas dasar ini.
Sedangkan ikatan individu dalam masyarakat muslim adalah Islam. Ikatan aqidah yang mengakomodir setiap bangsa, suku, ras dan keturunan. Rasialisme tidak dianggap sama sekali dalam agama ini karena bagi Islam tolak ukur keimanan adalah ketaqwaan. Islam menolak fanatisme kesukuan. Mereka berperang untuk membela Allah, Rasul dan agama-Nya.
3.        Kemerdekaan dan kebebasan
Kebebasan bagi masyarakat kafir sungguh kebebasan yang tiada batas. Manusia menginginkan kebebasan dalam segi apapun sehingga kebablasan tanpa batas. Sedangkan dalam Islam kebebasan tetap ada namun tidak liberal dan dilakukan selama tidak melanggar syariat dan sah menurut syara’.
4.        Persaudaraan dan persamaan
Dalam masyarakat kafir persaudaraan manusia bisa saja terjadi walaupun dibawah cengkraman akal busuk tanpa melihat kesamaan akidah. Persamaan walau hanya formalitas semu dalam hak dan kewajiban serta memiliki kepentingan yang sama maka dijadikan sebagai dasarnya.
Namun dalam masyarakat muslim akan berbeda mana kebenaran (haq) dan mana kebatilan (bathil). Keduanya berbeda, saling bertentangan dan tidak mungkin dipersaudarakan.
Masyarakat Madani                                                            
Setelah dikenalkan oleh Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” pada festival Istiqlal tahun 1955, banyak pakar yang mencoba mendefinisakn masyarakat madani.
Menurut Bachtiar Effendi, di Indonesia dan Malaysia, masyarakat madani adalah padanan dari civil society. Istilah madani sebenarnya bukan asli dari bahasa melayu, melainkan turunan dari bahasa arab , yakni mudun, madaniyyah, yang berarti peradaban. Dalam bahasa inggris istilah tersebut memiliki padanan makna dengan civilization. Dengan demikian – lanjut Bahtiar – dipandang dari sudut peralihan peristilahan, kata “Masyarakat Madani” jelas mempunyai kedekatan makna dengan “civil society”. Akan tetapi perlu diingat bahwa konsep civil society memiliki kekhususan, yang berkaitan dengan berbangsa dan bernegara dalam artian bangunan dan perilaku politik. Dan pemahaman yang paling umum dari konsep civil society adalah bahwa ia berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi.
Para pemikir banyak mengkorelasikan masyarakat madani ini dengan masyarakat yang ada dalam “Negara Madinah” bentukan Rasulullah SAW. Di tempat inilah Rasulullah SAW telah membangun masyarakat yang berperadaban, yaitu masyarakat madaniyyah karena tunduk dan patuh pada supremasi hukum dan aturan. Negara yang bisa mengakomodir berbagai kemajemukan, karena ketika itu bukan hanya Muslim saja yang berada didalamnya, tetapi ada elemen masyarakat keagamaan lain seperti Yahudi. Disini sebagaimana yang tercantum pada piagam madinah, diatur bagaimana hak dan kewajiban masyarakat Islam, hak dan kewajiban masyarakat Yahudi serta bagaimana memperlakukan mereka.
Selanjutnya apabila Civil Society dipahami sebagai masyarakat madani, menurut Nurcholis Madjid, dalam Islam, realisasinya masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW dengan azas yang tertuang dalam “Piagam Madinah” sebagai kontrak sosial antara beliau dengan orang yatsrib, quraisy dan yang mengakui dan mendukung perjuangan beliau, memiliki enam ciri utama, yaitu; (1) Egalitarianisme; (2) Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi; (3) Keterbukaan; (4) Keadilan; (5) Toleransi dan Pluralitas; (6) Musyawarah.
Konsep yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW mengenai Negara Madinah merupakan yang konsep yang dianggap paling tepat untuk masyarakat madani, terutama di Indonesia dengan kemajemukannya, keseimbangan perlakuan antara mayoritas kepada minoritas.
Jika dicermati secara mendalam, masyarakat madani memiliki sifat fundamen keadilan dan kesetaraan, kemudian membentuk demokratisasi yang menyebabkan partisipasi masyarakat. Sementara hukum menjadi pengawas dan pengendali perilaku masyarakat.
Dari sinilah maka pembentukan masyarakat madani diproses, yaitu melalui demokratisasi, partisipasi sosial dan supremasi hukum. Pertama, melalui demokratisasi. Negara yang otoriter akan membuat tersumbatnya masyarakat sipil, sehingga demokratisasi diperlukan. Kedua, partisipasi sosial. Partisipasi sosial yang bersih dari rekayasa dan memungkinkan otonomi individu terjaga. Sehingga tidak akan ada tirani yang merupakan lawan dari demokrasi, karena partisipasi sosial masyarakat berlangsung dengan sebenarnya, bukan malah demokrasi pura-pura atau pseudo democratic yang dijalankan karena tidak adanya partisipasi sosial. Ketiga, Supremasi hukum yang dijunjung tinggi sehingga terciptanya keadilan dalam masyarakat.
Masyarakat Islam Indonesia dan Demokrasi
Perdebatan ulama maupun para pemikir muslim mengenai Islam dan demokrasi sangatlah panjang dan menimbulkan pro-kontra. Ada yang menanggap demokrasi sebagai sistem yang bertolak belakang total dengan Islam dan ada juga yang menganggap nilai-nilai yang terdapat pada demokrasi compatible dengan apa yang ada dalam nilai Islam.
Di Indonesia demokrasi sudah menjadi sistem yang dianut dalam pemerintahan. Pemilu, partisipasi politik, kebebasan pers merupakan ciri yang menonjol dari demokrasi di Indonesia. Namun apakah yang bisa dilakukan masyarakat muslim di negeri ini menanggapi sistem pemerintahan yang bukan dari agama mereka sendiri?
Tentunya dari sekian banyak friksi mengenai hubungan Islam dan demokrasi, kita akan mendapatkan titik temu,benang merah diantara keduanya, yaitu inti demokrasi. Inti demokrasi adalah ketika masyarakat memilih pemimpinnya sendiri. Tidak boleh dipaksa dipimpin pemimpin yang mereka benci atau sistem yang tidak diinginkan, bahkan berhak mengkritik pemerinta jika dianggap salah, menurunkan dan menggantinya jika dianggap sudah melenceng.
Dr. Yusuf Qordhowi mengatakan, “Dalam kenyataan, siapa pun yang merenunginya akan sampai pada kesimpulan bahwa esensi demokrasi ada di dalam kemurnian ajaran Islam.” Lalu beliau melanjutkan,”.... Bahkan, Islam telah mendahului demokrasi dalam penetapan kaidah-kaidah dari esensi diatas, tapi meninggalkan rinciannya sebagai bahan ijtihad umat islam sesuai dengan pokok-pokok agama,kemaslahatan umat di dunia, dan perkembangan kehidupan berdasarkan waktu dan tempat serta perubahan kondisi manusia.”
Beliau menjelaskan kesimpulan tentang diskursus demokrasi dan Islam; bahwa sepanjang perjuangan umat Islam melawan kezaliman dan tirani, baik itu dari orang-orang sombong, raja-raja, pemimpin-pemimpin, sampai hari ini , didapati bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang paling ideal untuk melindungi kebebasan masyarakat dari diktator. Walaupun tidak dipungkiri, ada beberapa kekurangan, karena maklum saja sistem ini buatan manusia.
Jadi, sesungguhnya dalam demokrasi ada esensi Islam disana, tinggal cara kitalah yang membuatnya menjadi senyawa dengan apa yang disyariatkan agama ini. Inilah hal yang mutaghoyyirot yang butuh ijtihad dati kaum muslimin untuk membetulkan sistem dan menjadikan Islam sebagai ruh dalam pemerintahan.
Ketika Islam sudah menjadi penggerak yang kokoh dalam pemerintahan maka tugas-tugas berikutnya adalah memberikan efek kemanfaatan untuk masyarakat. Setelah masyarakat didakwahi dengan nilai normatif tentunya perlu dakwah siyasi pemerintahan yang mampu memberikan solusi dalam problematika keummatan dan kebangsaan.
Indonesia yang bermayoritaskan umat Islam dan menganut sistem demokrasi mestinya bisa tumbuh berkembang menjadi negeri yang adidaya, karena didalamnya tumbuh SDM yang tak hanya dimensi sosial hablumminannas namun juga penghambaan hablumminallah. Jika pemerintahan demokrasi ini digerakkan oleh SDM seperti diatas maka kesejahteraan masyarakat akan terwujud.
Islam yang rohmatan lil’alamin akan memberikan efeknya melalui partisipasi aktif SDMnya baik diranah masyarakat maupun pemerintahan. Dengan penerapan nilai-nilai islam didalam sistem ini maka kekurangan ataupun keburukan yang ada didalamnya bisa dieliminasi atau setidaknya diminimalisir, artinya kemaslahatan ummat dikedepankan demi menjaga masyarakat muslim yang mayoritas di negara ini.
Seperti dalam aspek ekonomi, islam yang tidak mengenal bahkan mengharamkan bunga (riba) bisa menjadi contoh dan solusi untuk memecahkan permasalahan bangsa di bidang ini. Karenanya kepentingan musyarokah umat muslim dalam pemerintahan demokrasi Indonesia menjadi sebuah langkah perjuangan yang menjadi sarana untuk menjadikan islam sebagai ustaziyatul alam. Sebagai pemimpin ummat, pemimpin Indonesia untuk menciptakan negeri yang adil dan sejahtera.


BAB III
KESIMPULAN


3.1. Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, bahwasanya konsep ummat yang dibangun Rasulullah SAW pada masanya merupakan suatu model negara yang berisikan kemajemukan ummat didalamnya.
Setelah hijrah ke Yatsrib (Madinah) tak kurang dari satu dasawarsa, sebanyak 15 kabilah masuk islam secara sukarela. Selanjutnya Rasulullah SAW mempereratukhuwah islamiyah dan mempersatukan Muslim, Yahudi serta mereka yang memeluk agama nenek moyang dibawah konstitusi Piagam Madinah. Sebuah negara berkonstitusi pun terbentuk dengan kekuasaan dan kedaulatan penuh. A Von Kramer tak salah ketika menyimpulkan “Muhammad membawa agama baru dan sistim politik baru... dan menciptakan suatu perdamaian yang harmonis.” D.B. Macdonald mengakui di Madinah telah terbentuk Negara Islam pertama. Thomas W Arnold yang diamini Fazlur Rahman lebih blak-blakan lagi, “di Madinah Nabi menjadi pemimpin agama dan kepala Negara.”
Konsep ummat yang luar biasa terbangun didalamnya karena tidak hanya disusun atas perbedaan agama, tetapi juga keberagaman kabilah atau suku-suku arab ketika itu, bahkan mempersatukan antara kaum muhajirin sebagai kelompok yang hijrah dari Mekkah dengan kaum anshor, penduduk asli Yatsribsebagai penolong mereka yang datang berhijrah.
Kepemimpinan dan konsep membangun suatu bentuk pemerintahan negara yang tidak dikotomis baik dalam agama, suku atau bangsa merupakan keberhasilan racikan politik cerdas dari Rasulullah SAW. Masyarakat yang berada didalamnya ketika itu berada dalam kedamaian dan kesejahteraan karena dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik dan penuh uswatun hasanah, tidak otoriter apalagi tirani. Dibawah konstitusi Piagam Madinah, rakyat yang berisi kaum mayoritas dan minoritas merasakan keadilan sepenuhnya.
Seperti inilah sebuah shahifah (piagam) dari Muhammad Rasulullah SAW (yang mengatur hubungan) antara mu’min Quraisy dan Yatsrib (Madinah) dan orang-orang yang mengikuti, bergabung dan berjuang  bersama-sama dengan mereka. Dari Piagam Madinah, dapat diambil beberapa kesimpulan.
Pertama, Asas kebebasan beragama. Negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.
Kedua, Asas persamaan. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk. Bahkan orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu.
Ketiga, Asas kebersamaan. Semua anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.
Keempat, Asas keadilan. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapa hukum. Hukum harus ditegakkan. Siapa pun yang melanggar harus terkena hukuman. Hak individu diakui.
Kelima, Asas perdamaian yang berkeadilan.
Keenam, Asas musyawarah.Tugas manusia di bumi adalah menjadi hamba dan khalifah Allah. Sebagai konsekuensi dari tugas kekhalifahan ini maka sudah sepatutnya ummat muslim mengambil perannya dalam kepemimpinan ummat seperti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Membentuk suatu konsep ummat yang satu dalam kemajemukan, yang toleran satu sama lain, yang mengakui keberagaman, yang menjunjung tinggi supremasi hukum, yang saling menghargai dan tolong-menolong satu sama lain, dan yang saling menasehati dalam kebaikan. InsyaAllah peradaban dunia dengan kepemimpinan Islam bersamanya akan menjadikan kehidupan ummat manusia mencapai keharmonisan, kedamaian dan kesejahteraan.

3.2. Penutup
Negara Madinah bentukan Rasulullah SAW menjadi suatu model yang pas dalam membentuk konsep ummat. Mulai dari sistem pemerintahan atas syura yang dipimpin oleh Rasulullah SAW melalui kontrak sosial Piagam Madinah sehingga membentuk tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sebagaimana yang telah diungkapan dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh bahwa ummat Islam ini adalah ummat yang adil dan pilihan, sehingga apa yang diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam bingkai Negara Madinah tidak mengdikotomikan ummat didalamnya, seperti perlakuan adil terhadap minoritas yaitu kaum Yahudi, mewujudkan persamaan hukum diantara masyarakat madinah, dan lain sebagainya.
Konsep ummat yang satu dalam kemajemukan telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dengan konstitusi Piagam Madinah. Inilah yang coba kaum muslim terapkan di Indonesia dengan berbagai kemajemukan didalamnya melalui UUD 1945 serta Pancasila yang merupakan rumusan para pemimpin Indonesia ketika itu untuk menyatukan framework bangsa yang plural tanpa mendikotomikan satu sama lain. Kemudian dalam bingkai demokrasi pula diharapakan nilai-nilai Islam dapat diterapkan sehingga memberikan efek kemanfaatan bagi ummat Islam dan ummat manusia pada umumnya di negeri ini dan berbagai belahan dunia lainnya.



Minggu, 07 September 2014

KAMMI MENGALIHKAN DUNIAKU



            KAMMI merupakan langkah awalku untuk ikut berorganisasi. Aku mengenal KAMMI dari teman sekelasku yang sudah masuk KAMMI duluan. Awalnya hanya iseng-iseng aja untuk menanyakan organisasi apa yang dia ikuti. Ternyata dia mengikuti organisasi KAMMI. Apa siy KAMMI itu? Namanya sangat asing ditelingaku. Setelah mendengarkan penjelasan darinya, aku pun ingin masuk ke KAMMI. Dia memberitahuku bahwa akan diadakan DM 1 dalam waku dekat, aku pun langsung mendaftar untuk ikutan, tidak lupa pula ajak 1 teman, gak asik kalo gak ada temen. Setelah mendaftar dengan salah satu kakak tingkat dari FKIP *oya aku merupakan mahasiswi UMRAH jurusan akuntansi angkatan 2010*, kami diharuskan ikut Pra DM.
            Setelah mengikuti pra DM, akupun memutuskan ikut DM 1 di Sebauk tangggal 1 sampe 3 April 2011. Awal ikut DM 1 masih pake celana jeans, sekali sampai disana ternyata kakak-kakaknya pada pke rok + jilbab lebar. Baru tau kalo acara itu mesti pake rok, alhasil aku yang cuma bawa 1 rok, mesti pake selama 3 hari. Tidak pernah terlentas dipikiranku untuk mengenakan rok, kecuali pas sekolah dulu, itupun memang kewajiban.
            Sempet ada rasa mau pulang pada waktu mengikuti DM 1, tidur di bawah lantai, makan bareng-bareng adalah  hal yang pertama kali aku lakukan selama hidupku. Tapi, aku gembira ikut itu semua, yang awalnya suntuk + bosan, lama-lama hilang karena temen-temen disana asik-asik. Alhamdulillah setelah melewati 3 hari, acara DM pun selesai dan ternyata aku lulus masuk menjadi anggota KAMMI.
            Begitulah kisah aku masuk menjadi anggota KAMMI, terus kenapa aku mengambil judul “KAMMI Mengalihkan Duniaku”, yapp karena KAMMI lah yang merubah seluruh duniaku. Karena KAMMI aku menjadi tau bahwa memakai celana itu masih membentuk aurat, mesti pake jilbab yang nutupin dada, mengerti masalah batasan pergaulan antar lawan jenis, dan masih buuanyaakk lagi. Dan itu semua aku tau semenjak masuk KAMMI.
            Aku yang dulu berbeda dari aku yang sekarang setelah masuk KAMMI, aku pakai jilbab itu karena terpaksa disuruh oleh guru agama di sekolahku pada waktu kelas XI. Awal dari terpaksa itu aku tidak hanya mengenakannya di sekolah tapi di luar sekolah juga, tapii ya memang hanya sekedar nutup kepala, jilbab masih mini dan masih pakai celana jeans. Aku yang dulu adalah yang bergaul dengan semua teman termasuk teman laki-laki. Kami suka bercanda dan tertawa bareng. Selama di SMA, aku memang tidak ikut organisasi apapun termasuk Rohis, tapi aku pernah mewakili sekolahku ikut lomba asmaul husna bareng teman-teman, ya walaupun kami tidak menang. Ya itulah masa-masa SMA ku, aku sangat menyukai masa SMA.
            Pasca mengikuti ikut DM 1, aku masih tetap seperti aku yang dulu. Cuma aku mesti mengikuti liqo’ setiap pekannya. Aku sangat mengagumi murobbiku dan murobbiku lah yang membuat aku berpikir bahwa akhwat ya mesti mengenakan rok + jilbab yang menutupi dada. Tapi aku tidak semudah itu untuk merubah pakaianku, kata my murobbi semua itu butuh proses gak harus cliinngg semua langsung berubah. Alhasil, aku pun hanya mengenakan rok sewaktu ikut liqo’ dan acara-acara KAMMI.
            Aku sempat vakum lama dari KAMMI, aku tidak pernah mengikuti kajian-kajian yang diadakan KAMMI, tidak pernah ikut rapat tapi aku masih mengikuti Liqo’. Sempat berpikir ingin keluar dari KAMMI, kenapa? Karena menurutku kakak-kakak di KAMMI hanya akrab kepada orang yang mereka kenal dan mereka anggap hebat. Yaap, aku merasa diacuhkan dan merasa tersisihkan selama mengikuti KAMMI. Alhasil aku benar-benar menghilang dari semua kegiatan yang berbau KAMMI. Dan aku tetap seperti dulu yang masih pake celana jeans dan aku hanya memikirkan kuliah tanpa ikut organisasi.
            Hal yang membuat aku kembali ke KAMMI adalah disaat aku disms untuk mengikuti rapat dalam rangka membentuk LDK di Fekon, waktu itu yang ada dibenakku adalah ini sesuatu yang baru dan aku mesti ikut. Dan aku pun mengikuti rapat tersebut, dan ternyata aku terpilih menjadi bendahara. Karena kita tidak boleh menolak amanah, ya akhirnya aku menerima amanah tersebut. Semenjak aktif di LDK, aku pun jadi kembali mengikuti acara-acara KAMMI. Dan itu merupakan dorongan dari kakak-kakak Fekon, menurutku mereka merupakan akhwat tangguh dan aku sangaatt menggumi mereka.
            Perlahan-lahan aku mulai merubah cara berpakaianku, semester 5 aku bertekad ingin memakai rok dan aku mengoleksi satu persatu. Tapi, hanya khimar yang masih tipis dan baru sekarang aku belajar memakai khimar yang tidak transparan, yaa semenjak semester 6 dan tidak lupa juga pakai kaos kaki.
            Mengapa aku mencintai KAMMI? Karena KAMMI separuh hidupku, karena KAMMI yang mengajariku banyak hal, karena KAMMI yang merubah hidupku..
I love KAMMI ♥ ♥ ♥
*penulis adalah Larasati Sunarto mahasiswi UMRAH Fakultas Ekonomi semester 6*