BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ummah (bahasa Arab: أمة, bahasa Indonesia: umat) adalah
sebuah kata dan frasa dari bahasa Arab yang berarti:
"masyarakat" atau "bangsa". Kata tersebut berasal dari kata
amma-yaummu, yang dapat berarti:
"menuju", "menumpu", atau "meneladani". Dari akar
kata yang sama, terbentuk pula kata: um yang berarti "ibu", dan imam yang berarti
"pemimpin".
Saat ini, Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah
organisasi internasional utama yang anggotanya terdiri dari negara-negara
dengan penduduk yang beragama Islam.
Dalam konteks agama Islam, kata ummah
bermakna seluruh persebaran umat Islam atau "komunitas dari orang-orang
yang beriman" (ummatul mu'minin),
dan dengan demikian bermakna seluruh Dunia Islam. Ungkapan
"kesatuan umat" (ummatul
wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada
seluruh kesatuan Dunia Islam. Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu,
dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya': 92).
Dalam perkembangan peradaban dunia kita banyak menemukan
berbagai umat manusia yang menonjol setiap zamannya. Sebut saja mulai dari
zaman nabi Adam AS, Nabi Luth AS dengan kaum Shodomnya, Nabi Musa hingga Isa AS
dengan Bani Israilnya. Kemudian raja-raja seperti Fir’aun dengan rakyatnya yang
dikerja paksa hingga peradaban konfusius yang mengenal kasta-kasta.
Begitu juga
dalam era modern seperti sekarang terdapat berbagai macam model tatanan
masyarakat yang ada. Dua yang terbesar misalnya, Kapitalis dan Sosialis. Dua
ideologi ini sangatlah bertolak belakang dalam menyusun tatanan masyarakat.
Kapitalis menjadikan kaum pemilik modal sebagai lakon utama dan menyisihkan
komponen masyarakat lainnya, sedangkan sosialis menyamaratakan seluruhnya
walaupun tetap membedakan kaum borjuis dan feodal.
Begitu banyak konsep tatanan masyarakat yang dikenalkan
di belahan dunia, setiap zaman, setiap habis peperangan. Namun nyatanya tidak
banyak menghasilkan konsep ummat manusia yang ideal. Ideal disini berarti dapat
menciptakan keadilan antara kekuatan pemerintah dengan masyarakat sipil, tidak
memiliki kesenjangan sosial yang tinggi antara elemen masyarakat, toleransi dan
kebersamaan terwujud, kesamaan di mata hukum, dan lain sebagainya.
Dalam perjalanannya konsep ummat atau masyarakat yang
terbangun dalam sebuah peradaban tak terlepas dari bagaimana bentuk
pemerintahan negaranya, setidaknya bagaimana pemimpin ummat tersebut
melakukan sebuah kontrak sosial didalamnya.
Sebenarnya kita telah menemukan konsep ummat yang selama
ini dianggap tepat
oleh kebanyakan ilmuwan, termasuk didalamnya hubungan ummat dengan
negara. Untuk itu dikenal konsep ummat yang dibangun oleh Rasulullah SAW di
Negara Madinah ketika itu dalam bingkai kontrak sosial Piagam Madinah.
Namun itu hanyalah bagian dari sejarah fenomenal umat
Islam yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Dengan runtuhnya khilafah islamiyah
praktis tatanan pemerintahan maupun sosial masyarakat telah hilang. Yang timbul
kemudian adalah berbagai ideologi serta model pemerintahan dan sosial
masyarakat “coba-coba”. Sehingga sampai saat ini berbagai pemikir dan ilmuwan
mencoba menemukan konsep ummat yang pas, terlebih seperti Indonesia yang
memiliki masyarakat plural.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka
dapat diambil beberapa permasalahan utama. Beberapa permasalahan tersebut
adalah :
1. Bagaimanakah konsep-konsep
kolektivitas manusia tersebut dan pandangan islam terhadap kolektivitas manusia?
2. Bagaimanakah hubungan Ummah / Umat
dengan universalitas nilai-nilai kemanusiaan?
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika kita
membahas ataupun membicarakan hal mengenai masyarakat islami maka pikiran kita
akan tertuju kepada kehidupan masyarakat pada zaman Rasulullah SAW, dan jika
dikaitkan dengan bingkai kenegaraan maka akan menjadi negara Madinah yang
didasari oleh piagam madinah.
Sebelum lebih
lanjut menuju pembahasan masyarakat islami maka terlebih dahulu kita akan
menilik masyarakat secara tersendiri. Menurut Selo Soemardjan, masyarakat
adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Paul B. Horton & C. Hunt
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama
dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan
sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan
manusia tersebut.
Secara etimologis (bahasa) “masyarakat” berarti sekumpulan orang, dan
“islami” berarti memiliki sifat atau karakteristik keislaman, sehingga
masyarakat islami adalah sekumpulan orang yang memiliki sifat atau
karakteristik keislaman. Maka masyarakat islami bisa didefinisikan sebagai
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai islam dalam kehidupan. Dalam konsep
yang lebih umum, kita mengenal masyarakat madani atau civil society.
Karakteristik Masyarakat Islam
Said Hawwa menyatakan bahwasanya pribadi muslim yang memiliki keistimewaan
akan menghasilkan masyarakat muslim yang memiliki keistimewaan khas pula
sebagai konsekuensi logis darinya. Karakteristik ini tentunya menjadikan
masyarakat islam berbeda dengan masyarakat lainnya. Beliau memaparkan 4
persoalan yang membedakan karakteristik antara masyarakat islam dan masyarakat
kafir.
1.
Seni dan estetika
Estetika dan seni menjadi tolak ukur
kemajuan bagi masyarakat kafir dan harus diutamakan sebelum akhlak. Maka akhlak
yang bertentangan dengan seni dan estetika bisa dibuang jauh-jauh dan tidak ada
nilainya di mata mereka.
Seorang biduan perempuan akan dianggap hebat jika menampilkan keelokan wajah dan kemolekan tubuhnya. Patung atau lukisan perempuan tanpa busana dinilai memiliki nilai seni yang tinggi. Kemudian sastra seperti novel atau puisi mereka yang mengarahkan manusia kepada pergaulan bebas, membangkitkan gharizah, mendorong kepada perzinahan serta membangkitkan intuisi manusia untuk melakukan tindakan kriminal.
Seorang biduan perempuan akan dianggap hebat jika menampilkan keelokan wajah dan kemolekan tubuhnya. Patung atau lukisan perempuan tanpa busana dinilai memiliki nilai seni yang tinggi. Kemudian sastra seperti novel atau puisi mereka yang mengarahkan manusia kepada pergaulan bebas, membangkitkan gharizah, mendorong kepada perzinahan serta membangkitkan intuisi manusia untuk melakukan tindakan kriminal.
Berbeda dengan masyarakat islam dimana
seni dan estetika merupakan hal yang sifatnya sebagai pelengkap saja, tidak
menjadi hal pokok atau sesuatu yang dikedepankan dalam setiap perkara. Akhlak
menjadi utama yang kemudian dihiasi oleh seni dan estetika, sehingga masyarakat
islam akan lebih mampu mengarahkan potensinya ke arah yang lebih positif,
perbaikan dan pemberdayaan ummat.
2.
Nasionalisme, patriotisme, rasialisme dan humanisme
Masyarakat non-muslim menjadikan ikatan
tanah air, bangsa, suku, ras dan keturunan sebagai ikatan antar individu.
Mereka rela mengorbakan apapun atas ikatan ini. Mereka lebih mengedepankan yang
sebangsa bahkan tak jarang merendahkan bangsa lainnya, memberikan loyalitas
kepada ikatan itu semata serta bekerjasama dan berperang atas dasar ini.
Sedangkan ikatan individu dalam
masyarakat muslim adalah Islam. Ikatan aqidah yang mengakomodir setiap bangsa,
suku, ras dan keturunan. Rasialisme tidak dianggap sama sekali dalam agama ini
karena bagi Islam tolak ukur keimanan adalah ketaqwaan. Islam menolak fanatisme
kesukuan. Mereka berperang untuk membela Allah, Rasul dan agama-Nya.
3.
Kemerdekaan dan kebebasan
Kebebasan bagi masyarakat kafir sungguh
kebebasan yang tiada batas. Manusia menginginkan kebebasan dalam segi apapun
sehingga kebablasan tanpa batas. Sedangkan dalam Islam kebebasan tetap ada
namun tidak liberal dan dilakukan selama tidak melanggar syariat dan sah
menurut syara’.
4.
Persaudaraan dan persamaan
Dalam masyarakat kafir persaudaraan
manusia bisa saja terjadi walaupun dibawah cengkraman akal busuk tanpa melihat
kesamaan akidah. Persamaan walau hanya formalitas semu dalam hak dan kewajiban
serta memiliki kepentingan yang sama maka dijadikan sebagai dasarnya.
Namun dalam masyarakat muslim akan
berbeda mana kebenaran (haq) dan mana kebatilan (bathil). Keduanya berbeda,
saling bertentangan dan tidak mungkin dipersaudarakan.
Masyarakat
Madani
Setelah dikenalkan oleh Menteri Keuangan
dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya
“Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” pada festival Istiqlal tahun 1955,
banyak pakar yang mencoba mendefinisakn masyarakat madani.
Menurut Bachtiar Effendi, di Indonesia
dan Malaysia, masyarakat madani adalah padanan dari civil society.
Istilah madani sebenarnya bukan asli dari bahasa melayu, melainkan turunan dari
bahasa arab , yakni mudun, madaniyyah, yang berarti peradaban. Dalam
bahasa inggris istilah tersebut memiliki padanan makna dengan civilization.
Dengan demikian – lanjut Bahtiar – dipandang dari sudut peralihan peristilahan,
kata “Masyarakat Madani” jelas mempunyai kedekatan makna dengan “civil
society”. Akan tetapi perlu diingat bahwa konsep civil society memiliki
kekhususan, yang berkaitan dengan berbangsa dan bernegara dalam artian bangunan
dan perilaku politik. Dan pemahaman yang paling umum dari konsep civil
society adalah bahwa ia berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi.
Para pemikir banyak mengkorelasikan
masyarakat madani ini dengan masyarakat yang ada dalam “Negara Madinah”
bentukan Rasulullah SAW. Di tempat inilah Rasulullah SAW telah membangun
masyarakat yang berperadaban, yaitu masyarakat madaniyyah karena tunduk
dan patuh pada supremasi hukum dan aturan. Negara yang bisa mengakomodir
berbagai kemajemukan, karena ketika itu bukan hanya Muslim saja yang berada
didalamnya, tetapi ada elemen masyarakat keagamaan lain seperti Yahudi. Disini
sebagaimana yang tercantum pada piagam madinah, diatur bagaimana hak dan
kewajiban masyarakat Islam, hak dan kewajiban masyarakat Yahudi serta bagaimana
memperlakukan mereka.
Selanjutnya apabila Civil Society dipahami
sebagai masyarakat madani, menurut Nurcholis Madjid, dalam Islam, realisasinya
masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah SAW dengan azas yang tertuang dalam
“Piagam Madinah” sebagai kontrak sosial antara beliau dengan orang yatsrib,
quraisy dan yang mengakui dan mendukung perjuangan beliau, memiliki enam ciri
utama, yaitu; (1) Egalitarianisme; (2) Penghargaan kepada orang berdasarkan
prestasi; (3) Keterbukaan; (4) Keadilan; (5) Toleransi dan Pluralitas; (6)
Musyawarah.
Konsep yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW mengenai Negara Madinah merupakan yang konsep yang dianggap
paling tepat untuk masyarakat madani, terutama di Indonesia dengan
kemajemukannya, keseimbangan perlakuan antara mayoritas kepada minoritas.
Jika dicermati secara mendalam,
masyarakat madani memiliki sifat fundamen keadilan dan kesetaraan, kemudian
membentuk demokratisasi yang menyebabkan partisipasi masyarakat. Sementara
hukum menjadi pengawas dan pengendali perilaku masyarakat.
Dari sinilah maka pembentukan masyarakat
madani diproses, yaitu melalui demokratisasi, partisipasi sosial dan supremasi
hukum. Pertama, melalui demokratisasi. Negara yang otoriter akan membuat
tersumbatnya masyarakat sipil, sehingga demokratisasi diperlukan. Kedua, partisipasi
sosial. Partisipasi sosial yang bersih dari rekayasa dan memungkinkan otonomi
individu terjaga. Sehingga tidak akan ada tirani yang merupakan lawan dari
demokrasi, karena partisipasi sosial masyarakat berlangsung dengan sebenarnya,
bukan malah demokrasi pura-pura atau pseudo democratic yang dijalankan
karena tidak adanya partisipasi sosial. Ketiga, Supremasi hukum yang
dijunjung tinggi sehingga terciptanya keadilan dalam masyarakat.
Masyarakat Islam Indonesia dan Demokrasi
Perdebatan ulama maupun para pemikir
muslim mengenai Islam dan demokrasi sangatlah panjang dan menimbulkan
pro-kontra. Ada yang menanggap demokrasi sebagai sistem yang bertolak belakang
total dengan Islam dan ada juga yang menganggap nilai-nilai yang terdapat pada
demokrasi compatible dengan apa yang ada dalam nilai Islam.
Di Indonesia demokrasi sudah menjadi
sistem yang dianut dalam pemerintahan. Pemilu, partisipasi politik, kebebasan
pers merupakan ciri yang menonjol dari demokrasi di Indonesia. Namun apakah
yang bisa dilakukan masyarakat muslim di negeri ini menanggapi sistem
pemerintahan yang bukan dari agama mereka sendiri?
Tentunya dari sekian banyak friksi
mengenai hubungan Islam dan demokrasi, kita akan mendapatkan titik temu,benang
merah diantara keduanya, yaitu inti demokrasi. Inti demokrasi adalah ketika
masyarakat memilih pemimpinnya sendiri. Tidak boleh dipaksa dipimpin pemimpin
yang mereka benci atau sistem yang tidak diinginkan, bahkan berhak mengkritik
pemerinta jika dianggap salah, menurunkan dan menggantinya jika dianggap sudah
melenceng.
Dr. Yusuf
Qordhowi mengatakan, “Dalam kenyataan, siapa pun yang merenunginya akan sampai
pada kesimpulan bahwa esensi demokrasi ada di dalam kemurnian ajaran Islam.”
Lalu beliau melanjutkan,”.... Bahkan, Islam telah mendahului demokrasi dalam
penetapan kaidah-kaidah dari esensi diatas, tapi meninggalkan rinciannya
sebagai bahan ijtihad umat islam sesuai dengan pokok-pokok agama,kemaslahatan
umat di dunia, dan perkembangan kehidupan berdasarkan waktu dan tempat serta
perubahan kondisi manusia.”
Beliau
menjelaskan kesimpulan tentang diskursus demokrasi dan Islam; bahwa sepanjang
perjuangan umat Islam melawan kezaliman dan tirani, baik itu dari orang-orang
sombong, raja-raja, pemimpin-pemimpin, sampai hari ini , didapati bahwa sistem
demokrasi adalah sistem yang paling ideal untuk melindungi kebebasan masyarakat
dari diktator. Walaupun tidak dipungkiri, ada beberapa kekurangan, karena
maklum saja sistem ini buatan manusia.
Jadi,
sesungguhnya dalam demokrasi ada esensi Islam disana, tinggal cara kitalah yang
membuatnya menjadi senyawa dengan apa yang disyariatkan agama ini. Inilah hal
yang mutaghoyyirot yang butuh ijtihad dati kaum muslimin untuk membetulkan
sistem dan menjadikan Islam sebagai ruh dalam pemerintahan.
Ketika Islam
sudah menjadi penggerak yang kokoh dalam pemerintahan maka tugas-tugas
berikutnya adalah memberikan efek kemanfaatan untuk masyarakat. Setelah
masyarakat didakwahi dengan nilai normatif tentunya perlu dakwah siyasi pemerintahan
yang mampu memberikan solusi dalam problematika keummatan dan kebangsaan.
Indonesia yang
bermayoritaskan umat Islam dan menganut sistem demokrasi mestinya bisa tumbuh
berkembang menjadi negeri yang adidaya, karena didalamnya tumbuh SDM yang tak
hanya dimensi sosial hablumminannas namun juga penghambaan hablumminallah.
Jika pemerintahan demokrasi ini digerakkan oleh SDM seperti diatas maka
kesejahteraan masyarakat akan terwujud.
Islam yang rohmatan
lil’alamin akan memberikan efeknya melalui partisipasi aktif SDMnya baik diranah
masyarakat maupun pemerintahan. Dengan penerapan nilai-nilai islam didalam
sistem ini maka kekurangan ataupun keburukan yang ada didalamnya bisa
dieliminasi atau setidaknya diminimalisir, artinya kemaslahatan ummat
dikedepankan demi menjaga masyarakat muslim yang mayoritas di negara ini.
Seperti dalam
aspek ekonomi, islam yang tidak mengenal bahkan mengharamkan bunga (riba) bisa
menjadi contoh dan solusi untuk memecahkan permasalahan bangsa di bidang ini.
Karenanya kepentingan musyarokah umat muslim dalam pemerintahan
demokrasi Indonesia menjadi sebuah langkah perjuangan yang menjadi sarana untuk
menjadikan islam sebagai ustaziyatul alam. Sebagai pemimpin ummat,
pemimpin Indonesia untuk menciptakan negeri yang adil dan sejahtera.
BAB III
KESIMPULAN
3.1.
Kesimpulan
Sebagai
kesimpulan, bahwasanya konsep ummat yang dibangun Rasulullah SAW pada masanya
merupakan suatu model negara yang berisikan kemajemukan ummat didalamnya.
Setelah hijrah
ke Yatsrib (Madinah) tak kurang dari satu dasawarsa, sebanyak 15 kabilah
masuk islam secara sukarela. Selanjutnya Rasulullah SAW mempereratukhuwah
islamiyah dan mempersatukan Muslim, Yahudi serta mereka yang memeluk agama
nenek moyang dibawah konstitusi Piagam Madinah. Sebuah negara berkonstitusi pun
terbentuk dengan kekuasaan dan kedaulatan penuh. A Von Kramer tak salah ketika
menyimpulkan “Muhammad membawa agama baru dan sistim politik baru... dan
menciptakan suatu perdamaian yang harmonis.” D.B. Macdonald mengakui di Madinah
telah terbentuk Negara Islam pertama. Thomas W Arnold yang diamini Fazlur
Rahman lebih blak-blakan lagi, “di Madinah Nabi menjadi pemimpin agama dan
kepala Negara.”
Konsep ummat
yang luar biasa terbangun didalamnya karena tidak hanya disusun atas perbedaan
agama, tetapi juga keberagaman kabilah atau suku-suku arab ketika itu, bahkan
mempersatukan antara kaum muhajirin sebagai kelompok yang hijrah dari
Mekkah dengan kaum anshor, penduduk asli Yatsribsebagai penolong
mereka yang datang berhijrah.
Kepemimpinan
dan konsep membangun suatu bentuk pemerintahan negara yang tidak dikotomis baik
dalam agama, suku atau bangsa merupakan keberhasilan racikan politik cerdas
dari Rasulullah SAW. Masyarakat yang berada didalamnya ketika itu berada dalam
kedamaian dan kesejahteraan karena dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik
dan penuh uswatun hasanah, tidak otoriter apalagi tirani. Dibawah
konstitusi Piagam Madinah, rakyat yang berisi kaum mayoritas dan minoritas
merasakan keadilan sepenuhnya.
Seperti inilah
sebuah shahifah (piagam) dari Muhammad Rasulullah SAW (yang mengatur
hubungan) antara mu’min Quraisy dan Yatsrib (Madinah) dan orang-orang
yang mengikuti, bergabung dan berjuang bersama-sama dengan mereka. Dari Piagam Madinah, dapat diambil
beberapa kesimpulan.
Pertama, Asas kebebasan
beragama. Negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk beribadah
menurut agamanya masing-masing.
Kedua, Asas persamaan. Semua
orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling
membantu dan tidak boleh seorang pun diperlakukan secara buruk. Bahkan orang
yang lemah harus dilindungi dan dibantu.
Ketiga, Asas kebersamaan. Semua
anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.
Keempat, Asas keadilan. Setiap
warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapa hukum. Hukum harus
ditegakkan. Siapa pun yang melanggar harus terkena hukuman. Hak individu
diakui.
Kelima,
Asas perdamaian yang berkeadilan.
Keenam, Asas musyawarah.Tugas
manusia di bumi adalah menjadi hamba dan khalifah Allah. Sebagai konsekuensi
dari tugas kekhalifahan ini maka sudah sepatutnya ummat muslim mengambil
perannya dalam kepemimpinan ummat seperti apa yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Membentuk suatu konsep ummat yang satu dalam kemajemukan, yang
toleran satu sama lain, yang mengakui keberagaman, yang menjunjung tinggi
supremasi hukum, yang saling menghargai dan tolong-menolong satu sama lain, dan
yang saling menasehati dalam kebaikan. InsyaAllah peradaban dunia dengan
kepemimpinan Islam bersamanya akan menjadikan kehidupan ummat manusia mencapai keharmonisan,
kedamaian dan kesejahteraan.
3.2.
Penutup
Negara Madinah bentukan Rasulullah SAW menjadi suatu
model yang pas dalam membentuk konsep ummat. Mulai dari sistem pemerintahan
atas syura yang dipimpin oleh Rasulullah SAW melalui kontrak sosial Piagam
Madinah sehingga membentuk tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sebagaimana yang telah diungkapan dalam firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqoroh bahwa ummat Islam ini adalah ummat yang adil dan
pilihan, sehingga apa yang diterapkan oleh Rasulullah SAW dalam bingkai Negara
Madinah tidak mengdikotomikan ummat didalamnya, seperti perlakuan adil terhadap
minoritas yaitu kaum Yahudi, mewujudkan persamaan hukum diantara masyarakat
madinah, dan lain sebagainya.
Konsep ummat yang satu dalam kemajemukan telah
dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dengan konstitusi Piagam Madinah. Inilah yang
coba kaum muslim terapkan di Indonesia dengan berbagai kemajemukan didalamnya
melalui UUD 1945 serta Pancasila yang merupakan rumusan para pemimpin Indonesia
ketika itu untuk menyatukan framework bangsa yang plural tanpa mendikotomikan
satu sama lain. Kemudian dalam bingkai demokrasi pula diharapakan nilai-nilai
Islam dapat diterapkan sehingga memberikan efek kemanfaatan bagi ummat Islam
dan ummat manusia pada umumnya di negeri ini dan berbagai belahan dunia
lainnya.